Selasa, 21 Juni 2011

Mencintai Dalam Hening



            Ara memasuki halaman sekolah dengan wajah khas cerianya yang bertambah-tambah. Hari ini adalah pengumuman kelulusan Ujian Nasional. Semalam dia sudah melihat hasilnya melalui website sekolah dan hasilnya dia meraih nilai tertinggi kedua setelah Fachrul, ketua ROHISnya. Ah, dari dulu dia tidak pernah bisa mengalahkannya. Semakin tinggi nilai Ara, semakin tinggi pula nilai Fahrul. Fachrul yang cerdas, Fachrul yang berkharisma, Fahrul yang berdedikasi tinggi, Fahrul yang di elu-elukan oleh warga sekolah dari mulai Pak Satpam sampe Kepala Sekolah, tapi juga Fachrul dengan segala kerendah hatiannya, dan Fachrul yang berpegang teguh pada prinsip hidupnya.
       Ara menggeleng-gelengkan kepalanya. Segera di delete bayangan ikhwan yang telah mampu mengisi setengah ruang hatinya selama tiga tahun. Ya, tiga tahun dia memendam perasaan itu. Selama itu pula dia harus berjuang agar rasa itu tidak tumbuh mengakar. Tak ada seorangpun yang tahu perasaanya, cukup Allah saja yang tahu.
            Masjid sekolah sepi saat Ara hendak memasukinya. Dia menaiki tangga masjid menuju tempat akhwat yang berada di atas. Dari atas dia bisa melihat dengan jelas pemandangan di sekitar sekolah. Tiga tahun sudah dia menjalani sebagian besar hidupnya disini. Tentu banyak kenangan yang telah digoreskan terlebih kenangan bersama teman-teman ROHISnya. Perjalanan panjang yang melelahkan namun sangat berbekas. Di masjid inilah pertama kali Ara merasakan energy kedamaian yang luar biasa, yang telah mengubah hidup seorang Ara yang saat itu berada di persimpangan jalan, memilih jalan manakah yang harus dia tempuh.
Ara melihat sekelilingnya. Matanya bertemu dengan seorang yang hendak menuju ke masjid pula. Fachrul! Wajah itu…wajah itu amat bercahaya. Lebih bercahaya dari biasanya. Segera Ara mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Namun, hatinya tak mau berhenti berdegup. Dilafazkannya istighfar berkali-kali. Wahai Pemilik cinta yang sejati, jagalah perasaan ini agar tetap suci.

       Ara mancari diary biru dari tasnya. Diary khusus tentang perasaan dia kepadanya. Namun, dia tak menemukan diary birunya, yang ada hanya diari hijau yang merupakan diary aktivitas kesehariannya. Dikeluarkannya seluruh isi tasnya, tapi nihil. Jantungnya berdegup dua kali lebih kencang. Enggak. Gak boleh ada seorangpun yang tahu isi diary tersebut. Itu sangat rahasia. Selama tiga tahun dia menjaganya, tak pernah hilang sekalipun. Tapi sekarang? Allah…kemana diary tersebut?
Dengan tergesa Ara menuruni tangga masjid menuju kelasnya. Berharap diarynya ada di loker mejanya. Di depan masjid, tatapannya bertemu lagi dengan Fachrul. Ara salting, buru-buru dia menghindar.
“ Ukhti…” sapaan damai itu membuat Ara berhenti melangkah.
“ Selamat buat keberhasilannya menembus Kedokteran UGM…Assalamu’alaikum.” Sepertinya setelah berucap demikian, dia buru-buru pergi. Ara tidak melihat karena dia membelakanginya.
Selamat. Itu ucapan selamat kedua yang ditujukan khusus untuknya. Dulu waktu kelas X dan sekarang di saat terakhir. Ara menyesal kenapa tidak memberinya ucapan selamat juga kepadanya. Bukankan dia juga telah berhasil mendapatkan beasiswa untuk studi di Australia National University? Ah, tapi sudahlah…toh dia tidak ingin hatinya terjerumus oleh Virus Merah Jambu yang semakin membuatnya terbuai. Di tip X-nya lagi bayangan tentang dirinya. Sekarang yang lebih penting adalah mencari buku diarinya!
***
Ponsel di meja belajar Ara berdering saat Ara sedang membongkar isi kamarnya untuk mencari diarynya yang hilang. Segera Ara membuka SMS yang masuk. Untuk beberapa saat, dia terdiam membaca kalimat yang muncul di layar Handphonenya.
Inna lillahi wa inna ilihi roji’un…Telah berpulang ke rahmatullah, Muhammad Fachrul Adzima, kelas XII IPA 1…
Ara terduduk lemas, ia tak sanggup membaca kalimat selanjutnya dari SMS tersebut. Hatinya sesak. Hampir saja ia menangis. Secepat itukah, padahal kemarin dia baru saja melihatnya, padahal kemarin dia terlihat sibuk mengurus surat-surat untuk beasiswanya disamping membantu adik-adik ROHISnya. Padahal baru kemarin dia melihat Fachrul tengah bercanda saat latihan nasyid dengan teman-temannya. Berarti ucapan terakhir darinya? Secepat itukah?
Astaghfirullah…Ara beristighfar. Dihilangkannya pikiran picik semacam itu. Bukankah pikiran semacam itu begitu picik? Bukankah itu berarti dia tidak menerima takdir yang ditentukan Allah, padahal Allah telah mengatakan bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati? Ya, tak seharusnya dia berfikiran seperti itu. Allah…dia milik-Mu dan pasti kembali kepada-Mu.
Ara ingat kata-kata Fachrul kemarin saat dia menyampaikan tausiahnya di depan seluruh anak ROHIS saat dia dipinta untuk memberikan sedikit tausiyahnya.
“ Ane ngutip kata-kata Muhammad Fathi Farahat sebelum dia syahid.” Tampak saat itu dia terdiam sejenak. Lalu melanjutkan kata-katanya lagi, “ kehidupan dalam naungan dakwah telah megajarkanku bahwa hidup itu sementara yang pasti akan berakhir pada kematian. Kematian pasti datang walau meski seseorang menyerahkan seluruh jiwanya, seluruh hartanya dan seluruh keduniaannya, jika telah tiba masanya maka selesai pulalah kehidupannya, apapun yang dia lakukan.
***
Di dalam gundukan tanah itu terkubur seorang pelajar yang selama ini menjadi kebanggan guru-gurunya, seorang anak yang meskipun sibuk dengan berbagai aktivitas organisasinya namun tetap mencari keridhoan orang tuanya dengan berbakti kepadanya. Di dalam sana terkubur seorang teman yang mampu manjadi teman terbaik bagi siapapun tanpa memandang status, sepaham atau tidak sepaham. Ah, betapa dia telah menorehkan sejarah hidupnya dengan tinta emas.
Ara dan teman-teman lainnya masih berat untuk meninggalkan pemakaman tersebut. Mereka tak percaya melihat beberapa anak yang dia yakin adalah anak-anak jalanan tampak sedang mendoakan Fachrul. Siapa mereka?
“ Setiap tiga hari dalam seminggu, Fachrul punya jadwal mentransfer ilmunya ke anak-anak jalanan itu,” jelas Bundanya Fachrul seolah mengerti apa yang dipikirkan Ara dan teman-temannya.
Semua temannya yang masih berada di pemakaman tersebut takjub mendengarnya, sebagian mereka mengucapkan tasbih. Tak ada yang tahu sepak terjang Fachrul yang satu ini. Yang mereka tahu, Fachrul, sibuker SMA Bintang memang selalu penuh agenda, mereka – teman-teman dekatnya—sangat tau agenda Fachrul sehari-harinya, tapi mereka tidak tau bahwa ada satu aktifitas Fachrul yang tidak mereka ketahui.
“ Sejak kapan hal itu berlangsung, Bun?” Rio salah satu teman dekatnya bertanya.
“ Sejak dia kelas tiga SMP, nak,” penjelasan Bundanya Fachrul kembali membuat teman-temannya tercengang terlebih teman-teman ROHISnya.
“ Pernah waktu itu dia pulang dengan babak belur di wajahnya. Itu pertama kali dia menjalankan aktivitasnya sebagai pengajar jalanan. Waktu bunda tanya kenapa, dia Cuma bilang sambil senyum kalau itu hadiah dari preman-preman jalanan karena sudah mengambil alih komando mereka.” Bundanya bercerita dengan mata berkaca-kaca.
Teman-teman ROHISnya menunduk. Mereka ingat perdebatannya dulu dengan Fachrul saat mereka mengkritik sikap Fachrul yang terlalu membaur dengan anak-anak yang di cap criminal oleh lingkungannya.
“ Emang kenapa kalau ane berbaur dengan mereka?” tanya Fachrul saat itu.
“ Bukannya kami melarang, Rul. Tapi dengan sikap ente yang seperti ini, bisa membuat citra anak-anak ROHIS jadi buruk.”
“ Lho? Apa sikap ane yang seperti itu  ada yang dirugikan? Enggak kan?” protes Fachrul dengan sifatnya yang tenang, “ Akh, apa ada akibat ane berbaur dengan mereka terus amanah ane terbengkalai. Bilang kalau ada, akh. Apa pernah akibat ane kumpul sama mereka terus ane juga kebawa mereka? Bilang kalau iya, akh. Apa pernah akibat ane kumpul sama mereka terus ane lupa sama tanggung jawab ane? Bilang kalau hal itu pernah terjadi sama ane.”
Saat itu tak ada yang berani menjawab karena pada kenyataannya hal yang dikatakan Fachrul itu tidak pernah terjadi. Buktinya Fachrul masih tetap berpegang teguh pada prinsipnya walaupun sering bergaul dengan orang-orang seperti mereka. Buktinya Fachrul adalah orang yang mampu mengemban amanahnya dengan penuh tanggung jawab. Buktinya, Fachrul yang paling semangat untuk liqo’ dimanapun itu. Buktinya, di antara yang lain Fachrul lah yang menurut mereka tidak pernah meninggalkan amalan yang wajib maupun yang sunnah. Lalu, dimana letak kesalahannya?
“ Kalau dakwah kita hanya sebatas kita-kita aja, bagaimana dengan yang lainnya? Kalau ROHIS memang organisasi dakwah maka siapapun bisa menjadi objek dakwah kita,” lanjut Fachrul, “ kenyataannya selama ini, kita Cuma berdakwah untuk kita-kita aja. Lalu siapa yang kita dakwahi, mereka yang memang sudah sangat tau tentang ajaran agamanya sementara kita gak peduli dengan mereka yang sampai saat ini buta dengan ajaran mereka sendiri?”
Hening saat itu. Pertanyaan mereka mampu dibalikkan oleh Fachrul dengan kata-kata yang menohok hati mereka. Ya, perkataan Fachrul membuat mereka sadar kalau selama ini mereka terlalu ekslusif kepada teman-teman di luar mereka. Itulah yang terkadang dakwah mereka tidak mampu menyentuh adik-adik kelas mereka sehingga ROHIS mereka tidak berjalan dan tidak ada regenerasi.
“ Dulu pun, Rosulullah berdakwah kepada ‘preman-preman’ Quroisy, teman-teman.” Kegalauan itu diakhiri mereka dengan pelukan hangat yang ditujukan teman-temannya kepada Fachrul.   
            Ara mengusap air mata yang hampir saja jatuh. Dia berfikir apakah selama ini dia salah mencintai seseorang yang keimanannya jauh di atasnya. Seharusnya dia sadar bahwa dia tak pernah punya kekuatan untuk menyusulnya di jalan-Nya.
            “ Nak Ara…” panggil bundanya Fachrul.
            “ Oh? Ya, Tan?” Ara tersadar dari lamunannya.
            Bunda Fachrul mendekati Ara, “ ini sebelum meninggal, Fachrul nitip ini buat nak Ara.” Ia memberikan sebuah bungkusan kado.
            Jantung Ara berdetak keras. Dengan ragu ia menerima bungkusan tersebut.
       Setelah menyampaikan amanah tersebut, Bundanya dan ayahnya Fachrul meninggalkan pemakaman disusul oleh teman-teman yang lain termasuk Ara.
***
            Sesampainya di kamar, Ara buru-buru membuka bungkus kado tersebut. Sungguh dia begitu penasaran dengan isi yang ada di dalamnya. Tak mungkin Fachrul memberinya sebuah kado begitu saja tanpa ada maksud tertentu. Ara terkejut ketika melihat isi bungkusan tersebut yang berwarna biru langit. Diary biru! Jantung Ara berhenti berdetak untuk beberapa saat. Namun kembali berdetak lagi lebih cepat dari biasanya. Sepertinya beberapa hari ini dia melakukan sport jantung. Ara memeluk diary birunya yang beberapa hari lalu dicarinya. Kenapa bisa ada di Fachrul? Kalau begitu bukan gak mungkin Fachrul membacanya. Ya Allah…berarti dia sudah tau semuanya!
       Ara membuka-buka diarynya. Tepat di sebuah halaman diarynya ada sebuah goresan kalimat yang dia yakin itu bukan tulisannya. Dia mengamati tulisan tersebut.
           
Assalamu’alaikum wr.wb.
            Teruntuk, Saudariku: Mutiara AzZahra
            Sebelumnya ane minta maaf kalau udah membuat anti kaget dengan tulisan ane. Anti mungkin bertanya-tanya kenapa diary anti ada di ane. Biar ane jelasin.
            Waktu itu ane lagi bersih-bersih masjid. Pas di pojok masjid ane melihat sebuah buku warna biru yang ane tau itu adalah buku diary. Awalnya ane gak mau buka diary tersebut tapi setelah ane pikir-pikir siapa tau di bagian depannya ada nama pemilik diary tersebut. Sungguh ukh, waktu itu niat ane Cuma pengen tau nama si pemiliknya untuk dikembalikan.
       Tapi, entah kenapa rasa penasaran, kaget dan terkejut ane muncul ketika ane gak sengaja membaca ada nama ane terulis disana.
            Kembali Ara sport jantung membaca kalimat tersebut.
            Ukhty…maafkan atas kelancangan ane.
       Karena rasa penasaran yang lumayan kuat, ane pun memutuskan untuk membawanya pulang. Di rumah, dengan rasa takut ane membacanya. Barulah ane tau kalau itu adalah sesuatu yang sangat dirahasiakan anti selama tiga tahun lamanya.
       Ane minta maaf…sangat. Maaf karena ane sudah membaca catatan yang sangat dirahasiakan anti. Maafkan juga karena mungkin selama ini keberadaan ane membuat anti gak nyaman yang mengharuskan anti untuk banyak-banyak istighfar…( ini ane ketahui karena ane begitu banyak menemukan kata-kata istighfar disini)
       Ukhty, ketika membaca kalimat demi kalimat yang ada di diary anti, jujur ane menangis. Segera ane bersimpuh di hadapan Allah karena sesungguhnya ane pun memiliki perasaan yang sama dengan anti. Maafkan ane. Tak seharusnya ane membicarakan ini kepada anti.
Deg. Allah…kenapa perasaan itu juga tumbuh di hatinya?
       Mungkin karena itulah selama ini ane selalu menghindari anti begitupun dengan anti yang selama ini mencoba menghindar dari ane.
       Ukhty, maafkan ane yang terlalu jujur mengungkapkan itu semua. Bukan maksud ane membuat anti semakin berharap, tapi ane ingin kita sama-sama menyadari bahwa cinta yang kekal dan abadi itu hanya kepada Allah yang Maha Pencinta.
       Ukhty, cinta itu fitrah. Jangan pernah kita mengotori kefitrahan cinta tersebut dengan sesuatu yang membuat Allah murka.
            Tetaplah jaga kesucian cinta yang telah Allah berikan kepada makhluknya. Dan persembahkan cinta yang benar-benar suci itu kepada-Nya hingga kita pun mendapatkan cinta-Nya yang agung. Karena kalau kita sudah mendapatkan cinta-Nya, apalagi yang kita harapkan?
            Sekian dari ane, maafkan atas segala kesalahan ane.
Tsummas salam
Saudaramu,
Muhammad Fachrul Adzima
       Ara tak menyadari bahwa saat itu diarynya telah basah oleh air matanya yang jatuh satu per satu. Dia membalik halaman diarynya. Disana tertulis sebuah puisi yang dia tahu itu juga ditulis oleh Fachrul karena dia merasa tidak pernah menulis puisi tersebut.

Mencintailah Hanya Dalam Hening
Saat kau jatuh cinta..jangan pernah kau berucap..Jangan  berkata..
Namun kau cukup hanya diam....
Agar dapat keluar dari belenggu cinta, dan mampu melaluinya dengan anggun..
Maka mencintailah dalam hening, dalam diam..
Tak perlu kau lari, tak perlu kau hindari. Namun juga, jangan kau sikapi dengan berlebihan. Jangan kau umbar rasamu. Jangan kau tumpahkan segala sukamu..
Cobalah renungkan..
Dia yang kau cinta, belum tentu atau mungkin tak akan pernah menjadi milikmu…
Dia yang kau puja, yang kau ingat saat siang dan yang kau tangisi ketika malam,
Akankah dia yang telah Allah takdirkan denganmu?
Gadis, kita tak tahu dan tak akan pernah tahu...Hingga saatnya tiba..
Maka, ku ingatkan padamu, tidakkah kau malu jika semua rasa telah kau umbar…
Namun ternyata kelak bukan kau yg dia pilih untuk mendampingi hidupnya?
Gadis, Karena cinta kita begitu agung untuk di umbar...
Begitu mulia untuk di tampakkan..Begitu sakral untuk di tumpahkan…
Maka cintailah dalam hening…
Agar jika memang bukan dia yg ditakdirkan untukmu,
Maka cukuplah Allah dan kau yg tahu segala rasamu.
Agar kesucianmu tetap terjaga..
Agar keanggunanmu tetap terbias..

NB: Puisi ini ane dapatkan dari teman FB ane
\          
Ara menghapus air matanya. Dipandanginya langit dari jendela kamarnya. Matanya kembali membaca surat tersebut. Tetaplah jaga kesucian cinta yang telah Allah berikan kepada makhluknya. Dan persembahkan cinta yang benar-benar suci itu kepada-Nya hingga kita pun mendapatkan cinta-Nya yang agung. Karena kalau kita sudah mendapatkan cinta-Nya, apalagi yang kita harapkan?
Entah kenapa setelah membaca itu semua, ada kedamaian menyelimuti hati Ara. Allah…ajarkan aku mencintai-Mu. Hingga aku dapat meraih cinta-Mu yang agung.

THE END



Tidak ada komentar:

Posting Komentar